TEKSTUAL.com – Permasalahan saling klaim lahan masih saja kerap terjadi. Seperti pada Organisasi Masyarakat (Ormas) Gerakan Pemuda – Pewaris Adat Kutai (GP – PAK) yang diketuai Sopiyan Huseng. Sejatinya kelompok ormas ini terlibat dalam sejumlah permasalahan lahan. Mulai antar pengurus, hingga kelompok tani yang lain.
Permasalahan pun bermula dari Sopiyan Huseng yang bergabung dengan Kelompok Tani Bangun Kutai Bersatu pada 2017. Kelompok tani tersebut sendiri diketuai oleh Sunarso. Kegiatan yang dilakukan oleh kelompok tani tersebut yaitu melakukan penanaman pohon produktif untuk perbaikan ekosistem dan penyelamatan lingkungan yang berada di kawasan hutan lindung dan Area Penggunaan Lain (APL) Bontang. Kelompok ini sudah mengajukan izin untuk melakukan kegiatan mereka kepada wali kota Bontang, namun izin tidak diberikan.
Meski belum memiliki izin, kegiatan kelompok tani tetap dilakukan. Namun ternyata kegiatan yang menjadi tujuan awal tidak terlaksana. Alih-alih melakukan penanaman pohon produktif untuk perbaikan ekosistem, kelompok tani tersebut justru melakukan perintisan di atas lahan yang sudah ada pemiliknya. Tak hanya itu, kelompok tani tersebut juga mengklaim lahan yang mereka rintis adalah lahan hibah adat dari Kesultanan Kutai. Karena hal ini, beberapa kali nyaris terjadi gesekan antara Kelompok Tani Bangun Kutai Bersatu dengan kelompok yang merasa sebagai pemilik lahan yang sah.
Tak lama berselang, terjadi perpecahan antara Sunarso dan Sopyan Huseng. Sopiyan Huseng pun membentuk kelompok sendiri, yaitu Kelompok Tani Kerukunan Bersama Masyarakat Budaya Adat Kutai (KT. KBM-BAK) dengan beranggotakan orang-orang dari kelompok tani Bangun Kutai Bersatu yang berpaling.
Perpecahan yang terjadi di kelompok Sunarso sendiri bukan tanpa sebab. Hal tersebut dikarenakan terjadi jual beli lahan di APL oleh Sunarso tanpa sepengetahuan pengurus yang lain.
“Sudah tidak sejalan dengan visi dan misi Gabungan Kelompok Tani Bangun Kutai Bersatu Bontang. Di mana ternyata kelompok tani ini telah banyak melakukan penyerobotan lahan yang ada tanam tumbuhnya milik warga yang memang sudah ada sebelumnya,” papar Sopiyan Huseng.
Setelah adanya perpecahan, pada 11 September 2017 Pemkot Bontang mengeluarkan surat edaran yang menegaskan status tanah Grant Sultan dan tanah adat di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Dari surat edaran tersebut dapat disimpulkan bahwa perolehan tanah melalui Grant Sultan Kutai Kartanegara tidak diakui keberadaannya di Bontang sehingga kelompok tani yang diketuai Sopiyan Huseng pun vakum.
“Setelah vakum, saya banyak menghabiskan waktu dengan berkebun di Desa Sukarahmat,” ujarnya.
Usai itu, Sopiyan Huseng kembali aktif mewakili Syaiful Lukman dalam permasalahan sengketa lahan. Dengan membawa bendera GP-PAK, Sopiyan nyaris bergesekan dengan Kelompok Tani Situru.
Sopiyan pun kembali mewakili warga pemilik lahan yang mengklaim di sepanjang jalan masuk PLTU Teluk Kadere dengan membawa bendera GP-PAK pada Desember 2019.
“Permasalahan tersebut belum selesai. GP-PAK menarik diri dari permasalaham tersebut karena pihak juru bicara warga tidak kooperatif,” terang Sopiyan Huseng.
Selain itu, Sopiyan Huseng juga mengatakan GP-PAK ikut mem-backup permasalahan lahan yang ada di Jalan Arif Rahman Hakim, Kelurahan Belimbing, Kecamatan Bontang Barat. Namun seperti permasalahan sebelumnya, permasalahan lahan tersebut pun belum ada penyelesaian. (*)